Senin, 21 Maret 2011

Cerpen Akhiriyati Sundari


Perempuan Bahu Laweyan


Siang lengang menghampar di beranda rumah Mak Minji. Tampak sesekali ia mondar-mandir keluar-masuk rumah. Sedikit resah ia menanti anak dan menantu laki-lakinya datang. Janda bertubuh subur dan berwajah keras mengekal itu kini tinggal sendirian. Putri semata wayangnya belum genap sebulan dipinang orang. Di tanah seberang, si menantu baru itu membawanya menanam hidup. Sebenarnya tidak sendirian betul perempuan itu tinggal. Dua-tiga kerabatnya hidup bertetangga dengannya. Di sepetak tanah warisan moyang mereka. Dirimbuni pepohon kelapa yang berjajar di kaki bukit. Di pinggir sebatang sungai yang membelah dua desa.
Sehari-hari pekerjaan perempuan itu membuat penganan kecil dan es lilin yang dititipkan di warung-warung. Jika pekerjaan usai, ia akan tidur sepuasnya. Barangkali, keseharian bergelut memasak dan mencicipi semua makanan dan tidur yang puas itulah yang membuat tubuhnya gembul. Di saat lain, ia akan menyigi pohon kelapanya yang berbuah lebat. Di sekujur tanah yang mengelilingi rumahnya, pohon kelapa dan pohon pisang Kepok merimbuni rumah desa peninggalan orang tuanya. Mak Minji akan memanggil penjual pisang atau penjual kelapa untuk membeli hasil kebunnya itu. Ia tak perlu bersusah-susah menjual sendiri ke pasar meski harganya jatuh bersebab ulah para tengkulak.
Tapi tidak dengan siang lengang ini. Mak Minji tampak sibuk. Bukan saja ia tidak tidur siang sepuasnya, tak pula ia memanggil tengkulak langganannya untuk menawar buah kelapa dan pisang yang telah masak. Mak Minji tampak sesibuk orang kebanyakan dalam persiapan helat. Ya, Mak Minji akan menikah. Tepatnya menikah lagi.
Bukan Mak Minji tak hendak berkabar kepada orang-orang. Tetapi berita pinangan yang diterimanya dari lelaki yang seorang pensiunan tentara itu telah lama menyeruak sampai ke pelosok. Mengharu-biru orang ramai di tegalan, sawah, hutan jati, pusat desa, dan tak luput para pejabat desa yang diam-diam menaruh perhatian padanya. Meski kata orang-orang badan Mak Minji kelewat subur, tapi tak mencuri kemudaan dan kecantikannya. Dalam usia yang cukup muda, 40 tahun dan sedang ayu-ayunya, perempuan itu telah menikah selama enam kali. Angka yang fantastis untuk ukuran orang-orang desanya. Lebih fantastis lagi, keenam suami Mak Minji itu berpisah dengannya bukan karena perceraian, melainkan karena meninggal dunia. Macam-macam penyebab kematian itu.
Suami pertama yang seorang petugas pemadam kebakaran, tewas saat bertugas. Suami kedua sekaligus satu-satunya suami yang sempat memberinya seorang anak, meninggal sesaat setelah terjatuh dari pohon kelapa, hendak mendaras air untuk dibuat gula merah. Suami ketiga mengalami nasib sama, jatuh dari pohon kelapa tapi tidak mati seketika, Mak Minji musti mengeluarkan biaya banyak untuk operasi tulang dan menunggui di rumah sakit ortopedi, nyaris dua bulan penuh sebelum akhirnya mati sia-sia. Suami keempat meninggal akibat penyakit gula. Suami kelima yang seorang sopir truk pengangkut kelapa, mati kecelakaan di jalur pantura H-3 lebaran, dan suami keenamnya meninggal lantaran sakit masuk angin mendadak.
Orang-orang kerap menyebutnya perempuan bahu laweyan. Perempuan yang setiap kali menikah, dipastikan suaminya akan meninggal. Dan, para lelaki berikut para perangkat desa yang terpikat sekaligus tak pernah terikat padanya, tak pernah berani untuk berhubungan kelewat jauh dengan perempuan itu. Takut mati sia-sia. Anehnya, para istri di desa itu pun tak berani melabrak Mak Minji ketika suami mereka diam-diam merajut kedekatan dengannya. Beredar kabar bahwa Mak Minji memiliki kekuatan supranatural akibat status bahu laweyan yang disandangnya.

*          *          *

Beberapa kerabat tampak berdatangan. Beberapa langsung menuju dapur melakukan persiapan. Seolah paham dengan keadaan, tak perlu mempercakapkan lebih panjang perihal dengungan di mulut orang-orang, mereka bekerja cekatan menyiapkan hidangan sementara Mak Minji bersiap pergi ke toko bunga depan pasar kecamatan. Ada yang lupa dibelinya kemarin. Dan itu menjadikan suasana separo gaduh dalam pembicaraan orang-orang.
”Apa macam hendak ia beli bunga?” Ibu paruh baya yang sibuk memarut kelapa bertanya setengah berbisik. Yang diajak bicara menoleh ke segala arah. Memastikan si tuan rumah tak ada agar pembicaraan tak menuai bencana.
”Ah, mungkin bunga setaman. Apalagi kalau tidak untuk sesajian. Tahu sendiri ’kan? Minji tetap memikat ’kan karena pakai begituan ...” Jawab perempuan yang masih kerabat itu. Tangannya yang tengah mengupas bawang terlihat berhenti. Seolah menegaskan seriusnya ucapan.
”Ya, mungkin. Tapi bisa jadi dia memiliki lelaku tertentu seperti itu. Bukankah ia akan menikah? Biasanya ’kan begitu?” Seorang nenek yang sibuk menyobeki daun pisang untuk alas besek kenduri sambil mengunyah sirih, menimpali.
”Maksud Nenek, lelaku itu bertujuan agar suaminya kelak akan mati juga? Dengan begitu Mak Minji mendapatkan tumbal bagi pesugihan-nya?” Kali ini perempuan si pemarut kelapa tadi bertanya dengan berbisik.
Mak Minji memang dikenal kaya. Setidaknya dari materi yang dimilikinya. Kilauan aneka perhiasan yang dikenakan, serta perabot rumah yang bertekstur kekinian.
Menurut orang-orang, Mak Minji yang jarang bergaul itu juga terkenal sebagai orang yang tidak pemurah. Tak pernah ia bersedekah barang seribu perak. Kayu-kayu dari pelepah kelapa di pekarangan rumah yang tak jarang jatuh sia-sia, tak pernah diberikannya kepada para tetangga yang membutuhkan meski ia sendiri berkecukupan. Singkatnya, hampir tak ada yang pernah dibuat senang oleh janda cantik itu. Anehnya, orang-orang terlanjur percaya bahwa Mak Minji bukan orang sembarangan hingga mereka tak berani berurusan panjang. Pun ketika mereka dimintai bantuan untuk persiapan helat, hampir semua tetangga kiri-kanannya menyatakan sanggup.
*          *          *
Keesokan harinya, suasana sederhana namun meriah, tumpah meruah di kediaman pengantin.  Orang-orang larut dalam kesenangan berpesta. Akad nikah berlangsung lancar. Sepasang mempelai yang tak lagi muda itu tampak sumringah. Hiburan orkes ”organ tunggal” pun disuguhkan untuk menghibur tetamu. Biduan cantik melenggak-lenggok menyanyikan lagu dangdut populer. Tak lupa lagu-lagu Campursari kegemaran penduduk kampung.
Mak Minji menebar senyum sarat arti. Begitu pun hadirin dan kerabat. Mereka larut dalam suka cita. Seakan terlupa apa yang kerap mereka pergunjingkan akan pengantin perempuan. Riang suasana itu tak sampai selesai. Orang-orang dikagetkan oleh Gayatri, putri Mak Minji, yang jatuh pingsan tiba-tiba. Sontak alunan musik berhenti. Seluruh mata memusat ke sumber kejadian. Tubuh Gayatri dipapah masuk. Upacara sederhana itu disudahi sebelum waktunya. Dengungan terdengar di mulut orang-orang. Tampak tetamu satu per satu meninggalkan ruang.
Mak Minji menangis meraung-raung di samping tubuh Gayatri yang tak jua siuman. Suami barunya hanya terpaku. Sebentar-sebentar resah. Pun begitu dengan sang menantu. Dalam kamar itu mereka hanya berempat. Tangis Mak Minji barangsur-angsur reda. Tinggalkan sembab dan titik yang berkaca-kaca. Hingga malam Gayatri masih terdiam meski napasnya teratur. Saran dari keluarga dekat agar dipanggilkan mantri tak diiiyakan oleh Mak Minji. Dijawabnya pasti nanti siuman sendiri.
Hati Mak Minji berdebar. Di kamarnya harum bunga sedap malam menguar. Ini empat kali sudah Gayatri pingsan. Selalu di saat ia melangsungkan pernikahan. Batin pengantin baru itu ngilu. Kepalanya pening. Matanya sedikit berkunang-kunang. Mungkin karena keletihan yang panjang usai perhelatan dan kebingungan yang mencekam, Mak Minji menyusul Gayatri; pingsan!
Udara malam mengerudungi desa itu. Menelusupkan dingin yang sangat ke pori. Suasana alam sunyi. Hanya terdengar suara burung gagak di sudut desa, tak jauh dari hutan jati...

Kulonprogo, Agustus 2010


Keterangan cetak miring:
Bahu Laweyan: sebutan untuk orang yang setiap kali menikah, pasangannya meninggal
Lelaku: semacam tirakat untuk beroleh tujuan tertentu
Pesugihan: kemakmuran yang diperoleh yang ditengarai bukan dari hasil biasa
Sumringah: gembira teramat sangat



akhiriyati sundari.. Lahir di Wates Kulonprogo Yogyakarta, 16 Oktober 1979.
Perempuan biasa-biasa saja yang menggemari kopi dan puisi.
Ketua Komunitas MATAPENA Yogyakarta.
Sehari-hari bekerja sebagai redaktur Penerbit Matapena (lini penerbit LKiS Yogyakarta yang menerbitkan novel-novel bernuansa lokalitas, subkultur pesantren, dan pop remaja pesantren).
Berdiam di Jl. KRT. Brotodiningrat Blok 2 Ngestiharjo Wates Kulonprogo Yogyakarta.



Puisi-Puisi Rifat Ayuni

Rindu

entah sejakkapanaku mulai membenci 
tetesan airdarikran belakang
sebab itu bisa membuyarkan lamunanku tentangmu
ya,aku rindu
melebihi tangisan bayi yang rindu tetek ibunya
Januari, 2011


Rindu 2
bisa saja kau berdiri di depan mataku
telanjang, dengan mata tertutup
dan kau berkata
pinggan kita sama, dada kita pun sama
lantas, apa yang engkau rindukan ?
aku rindu sebentuk hatimu
yang mungkin tak bisa lagi kutemui
januari, 2011


Rindu 3
tiba-tiba aku senang berdiam diri dalam kamar
menanti hembusan angin dalam jendela
yang membisikkan namamu
tepat di telingaku

atau melihat asap-asap rokok
yang tersusun membentuk wajahmu
kamar ini menjadi tempat terindah
ketika rindu mulai meraja


januari,2011

Puisi Tjak S. Parlan

Ia, yang Kukira Bertapa


ia, yang kukira bertapa
berayun cangkul dari tangannya
sekuakan bagi benih yang terpilih
dari doa malam ibu
yang ditanam ayah
di tanah kelahiran

maka ia pun jadi bernama :
              usia sepokok kayu
              yang pernah tunas

ia, yang kukira bertapa
terbujuk mengelupasi kulitnya
membuka kedok sekomplotan rayap
yang menggerogoti
usia pohon besaran liar
              dalam tubuhnya



mataram, 10 November 2009












Tjak S. Parlan
, penyair dan cerpenis. Tinggal di Mataram

Minggu, 20 Maret 2011

Puisi-puisi Budhi Setyawan

Laci Meja Kantor

ada yang tak sempat kuceritakan padamu, betapa pertarungan antara tinta dengan penghapus, terus saja terjadi meski perang dingin telah sedemikian lama usai. mereka yang ingin menorehkan peran, atau pun yang ingin menghapus jejak hitam. pesan pesan rahasia serta jeritan usus yang terbang mengitari pucuk kepala, menaruh titik titik letupan, kemana mesti dikirimkan. pada kerumunan pensil dan penggaris, ribuan percobaan menyusur jalan lurus dalam terpaan kilau angka. ada banyak musim yang sering bertukar perangai, hingga aku pun selalu gagap buat membukanya. apalagi membacanya.

pertemuan pertemuan yang terhuyung dalam merawat kesan, entah apa lagi yang menegakkan ritual perburuan. sedangkan ada kata kata yang masih disimpan, dibungkam di bawah lapisan kaca buram. lalu serombongan kertas yang seputih susu mengetuk jendela rumah kecilku. mengangkut kekosongan hari kemarin, sembari menanyakan lamunan di ujung sore yang tak sempat kutuliskan. ayo tetesi daku sekarang, lumuri aku dengan segala keringat doamu, yang mungkin masih tersisa dalam himpitan gerus mekanis kota.

ada gunting berwarna sepia yang kadang memotong upah, berjalan bersijingkat di bayang harga kebutuhan. catatan catatan kecil yang tak puas, memberontak di wilayah wilayah mungil. menetaskan iritasi di jemari lembut. cermin berkaca jernih tersimpan di lampauku, nafasku parau merunut gapai.

Jakarta, 2010


Majas Waktu

aku senyum senyum sendiri membaca sajak yang kutulis lima tahun lalu. serupa menonton ketololan cuaca yang gagal menerjemahkan perasaan sepasang pengantin yang tengah berbulan madu. di desa desa bertumbuhan kelam, juga kota kota yang memeram muram.

aku tertawa sendiri membaca puisi yang kutulis sepuluh tahun lalu. seperti melihat pertunjukan musik dangdut di kepadatan permukiman. ada pengucapan yang meleset dari lirik asli, nada yang terdistorsi tanpa kendali, juga tarian yang acap keluar dari birama yang dipandu derap ketipung. lagu terus saja berlari, bersaing dengan jeritan bocah yang belum makan dari pagi.

dan di ujung usia nanti, mungkin aku akan terbahak sendiri. ketika semua kata tergolek terdiam dingin, tak ada lagi ombak dan angin. betapa almanak begitu pasi, mengeja kelucuan dendam, rindu dan sakit hati yang sedemikian purbawi.

            Bekasi, 2010 




Budhi Setyawan, penyair kelahiran Purworejo, Jawa Tengah,  9 Agustus 1969. Beberapa tulisannya dimuat di  media nasional dan daerah. Buku antologi puisi tunggalnya: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007). Sekarang aktif di kegiatan bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan.