Minggu, 20 Maret 2011

Puisi-puisi Budhi Setyawan

Laci Meja Kantor

ada yang tak sempat kuceritakan padamu, betapa pertarungan antara tinta dengan penghapus, terus saja terjadi meski perang dingin telah sedemikian lama usai. mereka yang ingin menorehkan peran, atau pun yang ingin menghapus jejak hitam. pesan pesan rahasia serta jeritan usus yang terbang mengitari pucuk kepala, menaruh titik titik letupan, kemana mesti dikirimkan. pada kerumunan pensil dan penggaris, ribuan percobaan menyusur jalan lurus dalam terpaan kilau angka. ada banyak musim yang sering bertukar perangai, hingga aku pun selalu gagap buat membukanya. apalagi membacanya.

pertemuan pertemuan yang terhuyung dalam merawat kesan, entah apa lagi yang menegakkan ritual perburuan. sedangkan ada kata kata yang masih disimpan, dibungkam di bawah lapisan kaca buram. lalu serombongan kertas yang seputih susu mengetuk jendela rumah kecilku. mengangkut kekosongan hari kemarin, sembari menanyakan lamunan di ujung sore yang tak sempat kutuliskan. ayo tetesi daku sekarang, lumuri aku dengan segala keringat doamu, yang mungkin masih tersisa dalam himpitan gerus mekanis kota.

ada gunting berwarna sepia yang kadang memotong upah, berjalan bersijingkat di bayang harga kebutuhan. catatan catatan kecil yang tak puas, memberontak di wilayah wilayah mungil. menetaskan iritasi di jemari lembut. cermin berkaca jernih tersimpan di lampauku, nafasku parau merunut gapai.

Jakarta, 2010


Majas Waktu

aku senyum senyum sendiri membaca sajak yang kutulis lima tahun lalu. serupa menonton ketololan cuaca yang gagal menerjemahkan perasaan sepasang pengantin yang tengah berbulan madu. di desa desa bertumbuhan kelam, juga kota kota yang memeram muram.

aku tertawa sendiri membaca puisi yang kutulis sepuluh tahun lalu. seperti melihat pertunjukan musik dangdut di kepadatan permukiman. ada pengucapan yang meleset dari lirik asli, nada yang terdistorsi tanpa kendali, juga tarian yang acap keluar dari birama yang dipandu derap ketipung. lagu terus saja berlari, bersaing dengan jeritan bocah yang belum makan dari pagi.

dan di ujung usia nanti, mungkin aku akan terbahak sendiri. ketika semua kata tergolek terdiam dingin, tak ada lagi ombak dan angin. betapa almanak begitu pasi, mengeja kelucuan dendam, rindu dan sakit hati yang sedemikian purbawi.

            Bekasi, 2010 




Budhi Setyawan, penyair kelahiran Purworejo, Jawa Tengah,  9 Agustus 1969. Beberapa tulisannya dimuat di  media nasional dan daerah. Buku antologi puisi tunggalnya: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007). Sekarang aktif di kegiatan bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar